babad pulasari
YA,
TUHAN, SEMOGA KAMI DALAM SELAMAT DAN DAPAT MENCAPAI TUJUAN
OM,
A WIGHNAM ASTU NAMA SIDA
I.
DURMA
1. Alamat buruk datang mengerahkan penyakit, telah terasa dalam hati,
sedikit rasa dalam hati, dari getaran kodrat, segala yang dilakukan menjadi
kesusahan, adalah sebagai tambak pasir yang dihanyutkan air.
Durnimitan teka pingitan lara, wus tinaha eng ati, matra ing
satria, saking penguncaning titah, sing linaksanan temah wisti yaya luwir
tambak, heni keri ing warih.
2. Tak dapat ditolak guruh pada bulan Nopember, bingung perasaan hati,
tak dapat diharapkan, dengan apa digunakan untuk mengakhiri kedududkan, lebih
baik mati daripada masih hidup.
Tan kena ingosadhan gunture-masa, kemengangan angraseng ati, tan
kena pinalar, ndi nggening amriha, maka panyudaning wingit, leheng yen pejah,
supadi ya kari urip.
3. Rasa kasihan melihat anak dan cucu, yang berhubungan dengan karma
buruk, tak dapat dibayangkan tentang tulisan batuknya kepala, bekal dari
penjelmaan ini, baiklah menjadi korban karena Hukuman Tuhan.
Kangene mulate sutha, notraka, katungtuning duskretti, tan keneng
umpama, munggwing batuking reka, prasista prakrteng dadi, pisan dadaha, saparan
panendangning kawi.
4. Entah berapa lamanya mengalami bahaya, mengharap-harapkan kasihanya
Tuhan, sebagai burung tadah asih, pada waktu bulan mati, lama menderita sedih,
senang kesana- kemari mencari sinarnya bulan.
Pira kuneng lawas sang anemu wighna, angayam sihning widhi, kaya
tada harsa, pipadem nikang sesongko,
anget angelakenkingking, suka abayanan, amerih tejaning sasih.
5. Lalu terkejut tiba-tiba melihat kepada anak datang, dari
pengabdiannya, dengan hormat serta sopan santun, bertanya kepada ayahnya, “ ya,
ayahku, merasa tak senang hatiku melihat ayah seperti berduka cita.
Dadi kagiat yan tumon ikung sutha, perapta wekasingabdi, sa dara
mareka, mendek atakwaning bapa, aduh yayah ingsem singgih, kepwan manira,
apindakadi awingit.
6. Apa sebabnya ayah kelihatan separti pucat, ampunilah saya,
sekiranya boleh, untuk memperingtkan ayah, semoga dapat, meskipun sedikit,
untuk mengurangi duka cita ayah itu.”
Ndya nimita katon kadi asemang, duh kasamakena singgih yan
pindaning wenang, santosakena bapa, udani anareki, bilih kasidan, matra
sinudheng wingit.
7. Ayahnya segera memeluk leher
anaknya , “aduhai, anakku, yang kucintai, amatlah senang hatiku, bagaikan
kejatuhan intan, karena pemberian nasehatmu, kepada ayah ini.
Siramanira agipih amekuli kanta, duh atmajan ingsun laki,
tansipiakarsana, pangidep ingsun Tuhan, kadi kaguntaran manik, dera sung
samada, lawan sinamareki.
8. Berbahagialah mempunyai anak suka menanyakan kesusahan, yang
diderita ayah, mengeti ayah sekarang, dimana dapat mencari seorang tua, yang
senangnya begini, di seluruh daerah pegunungan dan lautan, tak akan didapatkan
seperti anakku.
Palanin sutha wenang tumakwan duh kita, sesta rumanireki, ndia
nggoning ameriha, kaya rama ningwang, rarahaning pasir ukir, nora manguha, kaya
ta sira laki.
9. Anakku, ayah tak mungkin menyembunyikan sesuatu, asal mulanya
kesusahan ayah, penyakit kepadamu, adalah karena sayang kepada anak dan cucu,
yang menjadi pemulaannya susah, karena amat tidak sayangnya Tuhan kepadaku,
hingga menjadi begini.
Duh masku anakku, ramanta nora pingita, kelawan sira laki, wehning
sihning manah, mulaning asungkawa, tan sipimedinging widhi, tibeng sairo, amanggih
temah kayeki.
10. Rasa sayang dan kasihan di daklam hatiku, melihat mereka, anak dan
cucuku, kebetulan tidak ada kemurahan tuhan, “ lalu yang mendengarkan
keterangan itu, membenarjkan dengan berkata, “ Ayah, usahakanlah, hiburkan itu
dengan ajaran agama.
Kangeng tewas tumonta sira sedaya, katuwon kang sihning kawi, “ndan
sangtinituran, anadhukara misarja, wehana wisudeng budhi, duh rasanana,
salimureng akaraji.
11. Bukan kerena saya lebih tahu, maka berani memberiakan peringatan,
iaah nengggarami lautan maka izinkanlah saya, agar tidak berdosa, lihatlah
cerita- cerita dahulu kala, bahwa Sanghyang Nilakanta pun mengalami susah.
Daran saking weruha anakira, apti apupungwaya, tuliya nasiking
jeladi, tabe pwa manira,marna tan kacakrabawa,ton en tang carita nguni, hyang
nilakanta, malar amanggih wisti.
12. Sebenarnya tidaklah ada yang keadaannya selalu baik, sebab
demikianlah sifatnya hidup sejak zaman dahulu, yang penungglannya suka dan
duka, serta berakhir dengan mati, apabila kita manusia, tak mungkin bebas dari
kesusahan.
Nenggeh tan hana swata nuluseng sarira, wetning sipatning dadi,
prakrtining kuna, satmianing suka duhka, pati wekasaning dadi, manareng dadi
wang,norana manggih wisti.
13. Sebab anak telah dengar dahulu, benarlah kalau dipikir-pikirkan, bila
diibarartkan dengan rodanya pedati, diputar menjadi bawah dan atas, berganti
dibawah, tak usah disesalkan perbuatan itu.
Pan karenga de rakanira ring kuna, singgih yan rinoseng ati, yan
winimbakena, kadi cakraning gilingan, pinuter temah sor luwih, gantiya kadahan
tan wenang sumeseleng kreti.
14. Izikanlah anak menyebut yang sudah almarhum, buyut kami dahulu,
menemukan kemuliaan, yang disebut Gajah Mada, sangat mansyhur di dunia
keutamaanya, dalam membantu Sri Maharaja.
Tabe pwa manira muncara sang sidha lepas, puyut ningluhun nguni,
wus mangguh keswaryan, sangkadi liman mada, kajana pria ring bumi, kottamanira,
ngemban sang mawabumi.
15. Sejak beliau mengatur negara dan istana, sang Natha, benar-
benarlah ditakuti dunia, seumpamanya Maharaja Budha, semuanya takluk dibawah
kekuasaan nya, atas kebijakan Sang Maha Patih, mengatur negara, beliau kini
telah bercampur dengan Tuhan.
Tembeyaning asrama wesmanira, sang Natha, wyakti katwaning bumi,
lwir Sri Jina Natha, rep sepunpunpunanira, pragiwa Sang Maha Patih, mangkwa
nagara, sang nifha umoring widhi.
16. Demikian konon keperwiraan
beliau pada jaman dahulu kini kembali dengan kata tadi, tentang roda pedati,
sekarang sedang berputar kebawah, karena itu tidak usah disesalkan, karena
sudah habis prakerti, terserah takdir Tuhan.
Mangka rakwa sucramanira, ring kuna, alwi uni, cakraninggilingan,
mangkeya gantiya kadahan, marmaning tan yogja malih, uwus prakrtta, sara
winingin widhi.
17. Semua yang diinginkan harus digiatkan mengusahakan, kemidian tentu
berpahala, tetapi hatus disesuaikan dengan tatacaranya, sang bijaksana, sampai
pada anak cucu semua, dari sekarang lagi melaksanakaan harapan itu.
Sestining sista ija wenang dindrkakena, dlaha wastu amanggih
anuteng sasana, sira Sang Maha Jana katengkeng santanan widhi, yaarepakena
mangke kinkinen malih.
18. Bila tuhan mengembalikan
takdirnya, menghilangkan segala kesusahan, membinasakan trimeda,” yang
dinasehati membenarkan, air mukanya girang, mendengar kata sejati.
Bilih ana pamakiling hyah atitah, rumateng wighna singggih,
aksareng niditya, basmian ikang trimeda, sang tinuturan misinggih, binaring
wedanaanggenga sabya yukti.
19. Wahai anakku, engkaulah jiwku tak sedikit girang nasehatmu itu
adalah sebagai aku mimpi, seumpama sudai sampai rasa bahagia hati ayahmu ini.
Duh masku anak atmajan ingsun Tuhan, tan pengan kersaneng ati, dera
sng sedha, luwir karya ing sapwena, rasa wus anungkap luwih, padaning manah,
sira ramanta laki.
20. Bijaksana dan budiman, perwira dalam perang, ditakuti oleh musuh,
serta tersohor darma paramartanya, ditaati oleh para resi, berbakti pada dewa,
benar-benar sebagai sifat raja Singa.
Wicaksana budhi mantra prawireng rana, kajerihaning ari, lan kajana
pria, parartha dharmasira, kina twangan sang parasi, bhakti ring Dewa, wyakti
atinga krtti.
21. Karena sifat Baginda demikian itu, meskipun sudah kaya tak
henti-hentinya ingin bertambah lagi, sifatnya itulah yang membuat rakyatnya itu
ketakutan, lupa dengan sesama,rangseng (gila) hanya sedikit ingat.
Pan asarira mangka sampuning suka, wyakti lan surud malih, kekaping
raja kaya, mangka polaha rira, memaning wong kwin-wrin, lipyeng sesana,
rangseng akedik meling.
22. Sedan-sedan memeluk dan memcium kaki pangeran, aduhai Tuanku
Pangeran, bunuhlah hambamu ini, hamba tak mempunyai budi, kini hamba, akan
mengikuti kemana saja Tuanku pergi.
Segu-segu amekul nagara spada, pegat-pedat dema nanggis, aduh
susuhunan, pejahen patik Bhatara, kawula tan duwe budhi, mangke menira, saparan
aptiya mangirin.
23. Agar tak bercerai dengan kaki tuanku pangeran, Sri Ciliputra lalu
berkata, aduhai kaba-kaba, jangan berpikir begitu, kini permi ntaanku, asal
tahankan setiamu padaku.
Maran tan kasah jeng Padhuka Bhatara, Sri Nrepa Temaja, angling
aris kaba-kaba, ajata manah mangkana, nihan pamidiku ingiki, kawela draka,
citha kelawan kami.
24. Dianggkat sebagai patih sira De Lurah Kubakul, beliau yang amat
hati-hati, sebagai dinding dada De Lurah Kubekung itu, ditakuti oleh rakyat,
dalam lingkungan daerahnya, tenang diam, semuanya tak berani berkutik.
Maka
pepatih sira De Lurah Kubakal, sira maka ati-ati, maka taweng wijang, De Lurang
bekung ta sira, kinatwangan dening bumi, sawengkweng sira, rep diem prasana
jerih.
25. Memperhatikan dahulu, ketika datang kesemarapura wyaya, tak di
elu-elukan akwa-akwa desa, yang berkuasa di Semara Jaya (Samprangan), bersifat
congkak, angkatra murka, kena kutuk ia dahulu, semua keluarganya, jadi tukang
keruk jamban.
Tonen
uni duk prapteng Semara pura wijaya, tan tinurunan demekel desi, saking smara
yaaya, dene darma dumuka, sinapa sira inguni, sakula gosta, juru duwuk pocabin.
26. Memaksa menguasai merampok segala-galanya, hasil perbuatan jahil,
disebut turunan penjamban, maka diceritakan lagi, dalem yang berdiri di Sweca
pura bertambah mulia, karena guna dan kebijaksanaannya tingga.
Mamara
mematu sawetek ipun mrajaya, palan ipun awegig, ngaran tereh pajamban, mangke
mwah kawasita, langgeng Sri Aji siniwi,ring Sweca pura, embeh werya pura adi.
27. Kemudian
bila kamu menjadi kaya harta benda, semoga tak menjadi sesuatu, dan pendek
umur, tetapi kalau kamu miskin semoga lama hidup, mangkana kita, terimalah
karuniaku ini.
Wekas
yan kamu katekaning sugih berana, watwa tan pari watswa eki, sira cendek yusa,
angina yan kita nistura, wastu langgeng Sanghyang urip, mangkana kita, tarim
pasungkwe ki.
28. Apa
sebabnya, karena dosamu amat besar, tak suka dengan pemberianku ini sebagai
usahamu turun – temurun, demikian kata sudah berhubungan dengan Tuhan rohnya.
Ndi
nimitani apan dosamu kaliwat, tan sudieng pasungkwe ki maka salanata katekeng
prati. Sentana, wakya sang umoring Widhi, sang siddha lima.
29. Adapun semua
para Raja putra itu menangis, tak putus – putusnya sedih, menyesalkan dirinya,
teringat dengan kutuk dewata, pun tak henti – hentinya menyesalkan perbuatannya
sangat malang, hingga menjadi begini.
Kunang
pwa sang nrepa tamaja sedaya, tan pegat asa anangis, kangeneng carita, wakya
sang sidha dewata, tansah nesel pulakreti, Pamandu atemah kayeki.
30.
Seharusnya lebih hati –
hatilah mengeluarkan kata – kata, kepandaian dalam Paman berbicara yang dahulu
yang menurutkan hati, biasa tidak tepat perkataan itu, menurutku kebenaran
dicela, rasakan pada karang – karangan Pujangga, Paman.
Yatna
– yatna nga denta umujar, pragiawaken ireng niti, den ngiring manah, tan pati
tepet angucap, rinengan tartha tinahi, ring pralapita’ lah rasanakena laki.
31.
Begitulah kata –
katanya I Dewa Gde Sekar, sangat menusuk hati, tetapi yang jadi utusan, bukan
main marahnya, dalam hatinya, segera dijawab oleh I Dewa Hyang Kangin, dengan
tenang, wahai Paman maafkanlah, sabrkan hati.
Nahan
lingira Ki Dewa Gede sekar, kras rasaning ati, ndan sira sang Duta, murub
brahmaning twas, sumawur dewa hyang Kangin, ih aja Paman, den santosa ing budi.
32.
Karena keterlanjuran
kata – katanya itu, janganlah menjadikan kesal hati Paman, maafkanlah, tetapi
si utusan itu, telah gemetar dalam hatinya karena marahnya, tetapi karena
menurut ajaran agama, disabarkanlah hatinya
Ingania
kadulurung deniro jar, aja ta sokengati, nging sira kang Duta, getu – getugeng
manah, anutaken aksaraji, pangucapeng twas, brahma kinubdeng ati.
33.
Kesabaran dan
kebenaraan kesusilaan yang diturunkannya, begitu pendapat mereka, agar tidak
menimbulkan sifat tercela, kuat menahan kesabaran hati, maka, maka tak antara
lama berkatalah lagi, jadinya, bagaimana kehendak Pangeran sekarang?
Sadhuning
manah yatutakena, gati tinarkening ati, ya wetu cinalan, geng kretti dumeh
mawa, tana swe neher angling, singgih punapa, karsaning sang keki.
34.
Tetapi kalau ada daya
upaya yang baik, sebagai akal kecerdasan, itu dahulu usahakan, sebagai
ceritanya Baka (burung bangau yang loba), yang demikian, baik saudara – saudara
Kyayi kemukakan, jangan hanya dalam hatinya saja.
Kunang
yan ana naya winaya wisesa, maka pangindra warih, rimihintiningkah, atur kang
baka carita, ya wenang arepana Kyayi, ndan Sri Narendra, samapun munggwing jero
hati.
II.
SINOM
1. Usakan dalam hati tuanku, agar ketamakan itu berkurang, sebagai
halnya tuanku, tempat tipu daya, dan sifat kikir tidak bisa (dilaksanakan)
harus memegang dharma seorang raja, seperti halnya lembu, apabila cukup
makannya akan menimbulkan sayang, bersedia mengikuti, sekehendak yang akan
dilaksanakan.
Utsana eng adnyana, kaangkara den mareni, yen radi sira ta rakyan,
Catur naropa sandi, dana beda tan mari,
dwigama mangku kaprabhum, yaya aywa ning wrdsabda, yania pepek wangun asih,
sidya tumut, sakarep kon lumaksama.
2. Sekarang permohonan hamba, apabila ada sesuatu yang menyusahkan
rakyat, jangan tidak memikirkannya, segeralah adili, sebab sangat beratlah
mempertimbangkan baik buruknya lagi pula yang dihukum jangan tidak dihukum dan
yang harus dihukum bunuh jangan dihidupkan.
tdurga wisti, dumarangeng ala ayu, kumang yen wenang dinanda, aja
nora den dandanin, Yania wenang, pejah aja anguripa.
3. Yang demikian akan berpahala menyenangkan hati bagi negara, tapi
tuanku samalah merasakan keadaan ini, tapi hendak menarik kecintaan rakyat,
harus dengan kata-kata baik, jangan membanggakan kedudukan sebagai raja,
berikanlah dana, hadiah bagi yang sudah dipercaya tuanku.
Yata rakwa apolah suka, citaning wang sanagari, sing nira dinya
sama, ngraksanikang praja iki, kuneng yen metakensih, dulur ana sabda ayu, aywa
ngegeng kagungan, unadaken pala bukti, nging yen sampun, inaden dera ta rakyan.
4. Meskipun kekayaan tuanku habis, asal sudah rakyat sayang takkan
tuanku kurang apa, bingung baginda dan berkata, kalau demikian oleh kita takan
ada raja kaya, dan lagi telah miskin, apa dipergunakan menarik hatinya, dari
pembicaraan tak ada penberian.
Yadikapin pasukane prasta, yen wus prajanira asih, masa nira kurang paran, kemper Sri Aji
nyawurin, yan mangka dera yayi, norana sang Ratu wibuh, tekwan yan sampun
nistura, paran dewa andaningsih saking wuwus, pan ora nana sadana.
5. Sembah Sri Tegal Besung, lihatlah rakyat, selalu hasil nyata yang
diingini, tak hiraukan tatasusila, berkelahi dengan saudara bercersi dengan
istri, berbuat curan gmenurutka hawa nafsu
jahat .
Lan tonen polahing jana, waya pala kang kinapti, wetiya rasikaning
loka, sang sida kana pola kinapti, tan likening sesana yukti, atukar lan sanak
ipun kedwa rebut kaliliran, ajijah adhin arabhi, angrurusuh, ngulurin buhi
kuhaka.
6. Dengan sangat memikirkan dalam hati, karena sama keduanya harus
dihormati, yang sedang bertentangan dengan saudara, lalu berdatang sambil
bersembah dan menangis, ya tuanku Raja, amat kasihan hamba mendengarkan
perkataaan tuanku, tak usah diperpanjang lagi, karen ahukuman dari Tuhan, baik
atau buruk, demikian halnya hidup menjadi orang.
Lewih kitenaning manah, pan pada sinuhun kalih, atuker kelawan sanak, umadur saroroan tangis,
singgih paduka Aji, enti welas manira ngrungu, aja dedawa mwah, panindhaning
Sanghyang Widhi, ala ayu, sifat-sifat ing agesang.
7. Memang tidak dapat terlepas, dari kodrat Hyang Yang Widi, apalagi
tuanku, akan tidak mendadpat kesusahan, itulah ingatan, hamba bermaksud
mennurut, baik buruk tuanku disini di dalam pakukuhan.
Winakti tan kena lineksan, sadum titahing Widhi, mandaning dadi
pangeran, norana amanggih wisti, Hyng Indra nenggeh uni, malar umangguh pakeuh,
yata tingetakena, kawula akti angiring ala ayu, iriki maring padukuhan.
8. Dan kalau diumpamakan, sebagai Sang Pendewa lagi, menyusup gunung
hutan, berapa tahun lama sekali, beliau itu, mengalami kesusahan terus-menerus,
karena hasil perbuatan, terima dengan senang hati, ya tuanku jangan lah
berputus asa.
Mwah yen winimbakena, kadi sang Pandawengu uni anusupeng wana cala,
pirang lek suwania nguni, sirata manggih wisti aywa ta tisang sungut, apang
pangkreten kuna, wehana wisudeng ati, duh pakulun, aja wismtting adnyana.
9. Di sana ada perkebunan hamba, amat sunyi di barat daya, berisi
tanaman bunga-bungaan, dibawah dari telaga suci, disanalah tuanku berdiam diri,
jangan kawatir tuanku, atas penjagaan hamba, Sri Tarukan tersenyum manis, aku
menurut, dimanapun ditempatkan.
Oyana nanggalan ingwang, asepi maring mariti, tinanunan sarwa
sekar, ingosarikang telaga suci, irika sira alingggih, aywa sadeha pukulun,
masa dewek kang kawula, sang kinanturan asmitaris ingsun tumut separa pintah
kita.
10. Orang pedesaan tak henti-hentinya berdaytangan, membawakan hasil,
buah-buahan, karen asetanya bertuan, senang kepada yan gbaru lahir, pula Sri
Tarukan itu, pandai menarik kasih, segala orang yang datang, dinasehati dengan
ramah tamah dan kasih, makin setianya orang pedusunan tani.
Owng dhusun tan pegat perapta, ngaturaken pala bukti, poepting sih
ipun atuhan, girang lan sang wau mijil, sira sri tarukan lagi, pragiwa
angendaning lulus sehananing wong prapta, aneket somet luluh sih, yen mujug,
prasama wong tangidesa.
11. Begitulah pelajaran dari dahulu, ketika berada di perkebunan bunga,
tidak lagi merasa susah, karena sudah percaya kesayangan mereka, lagi pula Sri
Tarukan bijaksana menarik hati, terhadap kanglurah keadilan, sehingga ia tetap
kasih sayang upami telur, darah
sekaligus dalam jmabangan.
Maka pangadijaya ing kuna, dukeneng sama sari, tan karia ngidep
durgama, pan wus mandel biakta asih, kuneng sri tarukan maleh, prandyan nglus
salianing tanu, lawan Anglurah Keadilan etuning andel biakta asih, yen upama,
antiga sah sapulangan.
12. Tak usah lagi diperpanjang, karena telah percaya dalamkehipan,
cukup tentang makanan, karena kesetiaan orang yang dusun, semua bermaksud
menyembunyikan perjalanan yang mengembara, karena tahu pada junjungan, tak akan
mencari tuan lain, Sri Tarukan, tidak lagi merasa susuah.
Punapi malih panjangang, pan sampun, mandeling urip, prasidha
bihujaning boga, drnaning wong dusun tani, pada aptia aningit lampah sang
amurung laku, weruh sreng paluhunan, tanana apalih gusti, Sri Tarukan, tanasaa
ngidep durgama.
13. Tertarik
hati utusan melihat para Raja putra itu demikian pula para Raja putra
memperhatikan masing – masing tata susila orang – orang berwibawa sebagai para menteri, sesuai dengan
pakainnya yang indah, upacara bersih menarik, maklumlah bijaksana dalam ilmu
peraturan siding
Kapengin
sakweh ning mulat, wedana sang wawu perapti, sasolah swabawaatinon, raspati
anandanag lewih, pantes adining Mantri, pacara asri dinulu, denia amawa cara,
tatuhuning tameng Aji, tateng lungguh, sotaning sang wus tama.
14. Para utusan
bijaksana dalam tata, dan ahli pula sang Pangeran berbicara, semua telah sama
dimaklumi yang hadir, nada dengan sopan utusan berbicara kepada Pangeran tertua
Rajaputra, dimulai oleh Kryan Klapadiana, “ya, Tuanku Pangeran, atas titah Sri
Baginda Dalem ing Linggarsa pura, adnya kami kemari ingin, berbicara kehadapan
pangeran.
Sang
Duta weruhing gita, cestrakara sanga pekik, prasama wus – wus telas tinonton,
sapacara muwun aris, kene sang Jyesta mijil, duh dewa Pangeran ingsun, sadnya
sang Sesuhunan, nimitang mangkeye prapti, adnya sang Hulun, mangke prapta
awaraha.
15. Ya
tuanku Pangeran, beginilah maksud Sri Baginda yang sebenarnya, membuat
kedamaian sungguh – sungguh, keselamatan
Pangeran ini kalau benar meurutku, ya perbanyaklah berbuat baik,
terutama sebagai Pangeran seumpama angsa yang mengharapkan air, dengan jalan
menjauhi mata air.
Singgih
mangke kepadeyan, mangka Sri Sanghulun iki, angawe parartha dharma, karestia
pakanireki, yan yogia wuwus singgih, ndah openen sung rahayu, pan kadi ta sira
kunang, lwir Srawana yan inapti, ndata pantuk, aptia angdohinh partithan.
16. Juga
menurut nasihat orang – orang bijaksana, pikiran yang suci bersih, karena sudah
termasyhur tidak diragukan kehendak baik, maka kesimpulannya Pangeran,
janganlah menentang kepada nasehat/maksud Sri Baginda, sebenarnya Pangeran
pandai, tidak menginginkan kejahatan, bulatkanlah pendapat, melaksanakan Dharma.
Sang
sadu pwa wuwus ira, sudhu yukti, wetnia wus kajanapria, anagsayeng sadhu budhi,
ah kanten ania singgih, aywa ta wiwaling wuwus tuhu pandita ta sira, narapti
alapi towi, putusing kahyun, acarira dharma murtia.
17. Tidak
Pangeran karena takut, sebenaranya karena Pangeran kasih sayang, ketulusan hati
Pangeran itu dilaksanakan, yang menyebabkan orang setia bakti menghilangkan
kemarahan, itulah disebut “kukuh” yang dapat berlaku demikian, sesuai dengan
yang dipuja seluruh Bali, itulah ikuti sebab menjadikan masyrakat sejahtera.
Tan
saking wedi Pangeran, sawetnia inukteanasih, nebning budhi nutakena, sopana ana
wijilsih, winaseng krodeng ati, yasa dera ngaran iku, sang siddha makam bekika,
lan sang kasung – sungeng Bali, den tumutur, maka palang jagadita.
18. Yang
dikatakan “duhka Wiparita” / tetap setia dengan duka cita, asal setia kepada
tanah air, tak urung mereka membalas dengan setia bakti, kalau kurang setia,
berkehendak dengan akal jahat itu berbudi Ahengkara, disebut menentang ajaran
Bijaksana, hancur binasa segala usaha, itu sama dengan sanghara kalpa (masa
kiamat), tak urung hancur pada masa kiamat
Niang
tang duka wiparita, kewala pagehing bumi, tan wun waksana siha, durwikeka temah
singgih, ya geng angkareng budhi, winuwus wi kalpeng wiku, apes lekas sang
kinaryan, yakalpa pada araneki, tan wun gempung, kalanikang musuh tekas.
19. Janganlah
Pangeran syok lagi dalam hati atau ragu – ragu, kalau Pangeran tetap menolak
perintah Dalem, tak urung akan dihancurkan, karena itu turutilah Pangeran,
pikirkan, jangan keras kepala, jangan sampai pikiran bercampur dengan akal
jahat.
Aja
ta sira pangeran, kari sinangsayeng ati, yan kadwa ta pakanira, amurung arsa
Sri Aji, dadi atemah wisti, tan wun sira brasta gempung, idepakena tuhan,
rasanana, aywa Cungking, denia samapun, timur dening dur wiweka.
20. Sembah
Lurah keempatnya, “janganlah Pangeran beraharap lekas mati, tetaplah tunggu
bagaimana nanti, yang datang Prajurit Gelgel itu, asal kami masih hidup, kami
suka menghadapi dalam pertempuran, biarpun gepeng tulang – tulangku dan
berhujankan darah nantinya.
Sawurira
pepatihan, punang Lurah Catur wiji, sampun ta sira Pangeran, arepa kudwa eng
pati, istia tuhage prapti sanyateng Gelgel puniku, mosiknya manira dewa, rene
umaguteng jurit, cacalwung, asirat awrsa swanita.
21. Kita
mengadakan peperangan hebat, jangan gentar dengan mati, kini maksud kami akan
mendahuli menyerang,” lalu berkata apsariputra,” jangan begitu terdorong, Paman
– pamanku, belum terlambat kita berusaha” banyak pula pembicaraan – pembicaraan
mereka dan akhirnya keputusan yang telah diambilnya, untuk berperang.
Angadadakaken
pranga dbhuta, aywa gagap tekang apti, amngkepa ti manira dewa, rumuhunaken
metoni, ling atmaja apsari, aywa mangko, kadeluru, kewala tabeha mangko, nora
kasepaha tangkis, keh yan wuwus, mangka payu alap kena.
22. Akhirnya
Sri Aji Bali bertanya kepada Patih yang biasa dalam bertimbang, Hai, Paman
Pertandakan, bagaimana cara kita berbuat sekarang dalam hal ini, katakanlah
padaku, untuk melaksanakan usaha berpahala keunggulan, mengembangkan dan
memelihara yang berbuat baik untuk kesejahteraan masyarakarakat Negara.
Wekasan
wijil andika, tinanye Patiling niti, toh kita Petandakan, paran tekang ulah
teki, deningong angrasaning, yata pwa warahen ingsun, ngungsir yasa phala
wjaya, mrediakena sehananin, wangun ayu, maka phalang jagadhita.
23. Sebaiknya
Paduka Tuanku mengambil jalan tenang, lihatlah masyarakat selingkungan pedesaan
tani itu, itu pula harus diketahui nasibnya, sayang kalau dihancurkan, baiklah
sebagai menangkap ikan dalam telaga, bunga teratai dan air telaga tenang dan
jernih, dengan itulah yang disebut bijaksana.
Yogia
Paduka Bhatara, ametana saking aris, tonenseh nikanang praja, sapradeseng dusun
tani, yata pwa den kawruhi, eman geseng brasta gempung, kadiamet mineng telaga,
Padma banyu karya resti, duh Pukulun, yeka pradnya ngaran ika.
24. niang
waning amriha, sahaya nitJalan untuk mengusahakannya, sahabat musuh itu,
kasihi, beri apa yang baik diingininya, dengan itu tentu dapat bersatu dengan
kita, begitulah dilakukan oleh yang bijaksana, tahu jalan – jalan untuk
mengalahkan musuh, sangat banyak bila diceritakan, usaha untuk mengalahkan
musuh, kalau hal asrama Sekar ini bukan musuh namanya.
Oniang
awaning amriha, sahaya nitia asihi, wehana ta sameneka, tang duga nora sekapti,
mangkan den sang wring gati, dera ta angdaning musuh, tangeh yan aturaken,
polah met cidraning ari, kayaa iki, duran musuh ngaran kita.
25. Bukan
karena Paduka Tuanku takut berperang, tetapi sayang kepada rakyat banyak mati”
sebab sebab sebagai Paduka Tuanku, berkedudukan Raja, bertanggung jawab dengan
baik buruk bumi, kalau rusak Negara, Paduka Tuanku akan disesal, disebut uk
padbodoh, begitulah akan sesalnya rakyat, sebab sebagai mendidik anak hal ini,
kalau tidak diperbaiki tak urung rasa binasa.
Tan
sakeng wedi Narendra, amaning kweh bala mati, pan kadi ta prameswara, ala hayu
niikang bumi, yan ruganing negari, Sang Prabhu tininda punggung
mangkatinindanging jana, lwir ingemban, rare iki, yan tan linungan, tan wung
manggih yati brasta.
26. Sebagai
sang bijaksana Kreta Dharma, selalu berusaha membantu, dengan tidak melupakan
kepahlawanan, misalnya denga catur naya sandhi, yaitu 4 usaha daya upaya yang
tepat, dengan melaksanakan usaha yang
tenang, maka musuh itu sedikit, bukan kata gertak atau sorak yang diperlukan,
hanya bijaksana, itu disebut berguna.
Yan
kadi Sang Kreta Dharma, utsaha tan-skinanti, tangeh sinangguh ka wiran, lwirnia
catur nayo sandhi, den amet saking aris, dana, beda, kang linuhung, pan musuh
hina rasika, nora wak surak kangnerih, pradnyan iku, wruhing guna ngaranika.
27. Adapun
maksud dan isi surat itu adalah, “Aku sebagai Raja (bapaknya rakyat) bukan
untuk membikin kematian, tetapi dengan berdasarkan para Martha (dharma), coba
pikirkan baik – baik, maka aku menganggap anak – anakku semua sebagai anakku
sendiri, lepaskanlah anak – anakku itu biarkan berpikir sendiri, tak wajib
sebagai kamu memperkuatnya dengan senjata, jangan kamu bersifat bodoh itu,
perhatikan sesama (kewajibanmu sebagai Raja).
Munggwing
candia nikang roka, nora ngong wae pepatin, ginawea parartha dharma,
duhrasakena lagi, sotaning suta tuwi, wakakena anak ingsun, tan yogia kadi
kita, ngukuhake sira laki, aywa punggung, ulatakeneng sesana.
28. Mendengar
kata istrinya demikian, Anglurah, jadi amat senang, sebagai disadarkan, hingga
berseri – seri gitu pulamukanya, sebab serasa akan meningkatkan utama,
tersenyumlah Kryan menarik istrinya, “Wahai adinda, jiwaku, dimana akan kudapat
istri yang sebagai adinda ini, yang ikut bersama menuju akhirat dengan jalan,
pati brata (setia suami),
Mangkana
sira Angkurah, entiasari kadi tinangi, wiakti binger ing wedana, pa kerasa
nungkap lewih, mesem anambut rabhi, duh yayi jiwan ingsun, ndia nggoning
amriha, diah aulah kayeki, den tumutur, sira mungsijen pati brata.
29. Baiklah
sebagai Pangeran semua memikirkan sedalam – dalamnya, jangan tetap berkeras
kepala, surutkan kemarahan Pangeran turutlah berkehendak dalem sebenarnya tidak
membahayakan jiwa Pangeran, beliau ingat dengan berputra keponakan pada
Pangeran mohon maaflah Pangeran dan memeluk kaki Dalem.
Daweg
rasanana kena, aywa tisayeng acungking, alapi gelengta mangko, iringeng arsa
Bupati, twi tan agawea pepatin, mengeting asuta tuhu, ya yogia kadi kita, minta
ksama kena singgih, sambia muhun, mekul jeng ira sang Natha.
30. Karena
sebagai Pangeran tahu bahwa berjunjungngan kepada Dalem ada di Bali rajia ini,
tidak boleh berkehendak sendiri, segala perintah Dalem harus dituruti, turut
pula kata hamba, sebab untuk keselamatan Pangeran, bila masih tetap bersifat
marah, tak boleh tidak akan binasa, turutilah nasihat hamba.
Pan
kadi ta sira dewa, siddha sotaning aniwi, umungguhing Bali rajia, tan
wenangadrrwe budhi, sarwadnyana Sri Bupati, idepen manira masku, angawe kejagaditan,
yan mangde, uyuneng ati, tanwun gempung, pisinggih atur manira.
31. Semua
para peladennya (hamba sahaya), turut berasa khawatir, apa sebabnya maka
begitu, yang baru datang,terus mencium istrinya, serta tersenyum menarik
istrinya, katanya, “aduhai adinda, jiwaku, serasa tak berhasil kesayangan kita
kepada cucu kita (para raja putra), menjadi bodoh dan keras kepala, tak urung
mereka akan binasa
Sakwehing
para wongira, prasama milu ngeresiati, ndi parantagane reko, sang prapta teka
ngareki, mesem anambut rabhi, duh yayi jiwitan, insun rasa tan ketambanan,
sehira lan potrakaneki, wetu punggung tan wun temah yati brasta.
32. Membubung
debu ke udara yang menyebabkan kegelapan mata dalam menusukkan keris, lain
dengan pedang parang memerang, sama prajurit gagah dan berani, tak meras takut,
luka parah dalam mengabdikan diri terhadap Dalem.
Kumelebikang
lebwa kadi katilaman aridwan selang keris, lian aperangeng pedang, bala sinama
sura, yaya tana idep wisti, lwih kacurnan, apti pekayeng Aji.
33. Dan
bertebaran dengan hujan bunga, suara genti ribut diangkasa, kelihatan samar –
samar melayangnya dewata yang mengelu elukan jiwa pahlawan mati dalam perang,
menandakan mencapai kemulian.
Sinawuran
dening puspa warsa, genta umung eng langit, aton ngawang – ngawang, wateking
apsara gana, pnungsung sang wira mati, aneng paperangan, biak ta aningkap
lewih.
34. Ya,
sebagaimana jadinya kita menyerah atas hukuman yang harus kita derita, ataupun
akan mati , karena dosa dari perbuatan kita, tersila kodratanya Tuhan ; yang
lain berbicara, ya demikian saya pun akan ikut, karena telah berjanji sama –
sama mati, tidak usah dipikir panjang lagi.
Separan
panin daning titah, dadakena yadin atemah wasyanti, pan angemasin dosan ingsun,
sara winanganing Dewa, waneh angling, ya pwa ika ingsun tumut, abasama poleng
pejah, away dedawa malih.
35. Tujuh
kali penjelmaan kami akan tetap bersetia bakti tidak akan menjauhi Jeng Paduka
Dalem, mengabdi kepada beliau dengan setia, terus – menerus sampai keturunan
kami semua segala perintah kami junjung sepenuh hati biarpun kami ini yang
sudah dianggapa membandel, mulai sekarang kami tidak akan menolak, segala
perintah akaan kami kerjakan dengan penuh bakti.
Ping
sapta ingsun anyadma, marman ingsun, tan kasha jeng Sri Bupati anyraka lan Sri
mahulun, tumus katekeng wekas, sanenaka, yadian norakena ingsun, tan ana wiwah,
cihnaning bakti aniwi.
36. Jangan
sangat menyesalkan perbuatanamu, nah sekarang mari kita mulai berbakti pada
Dalem, hal itu adalah kodrat Tuhan semoga Dalem menganugrahi ampun tentang
dosamu itu”, menyembah I Dewa sekar lagi, “Hamba menurut, Tuanku dan telah kami
insyafi semuanya.
Aywata
tibraning lara, lahta mangke daran malenin bakti, jengira Sri Maha Prbhu anata
pamolikaning hyang, kasinampolih, Sang linangan awot santun, aneda patik
Bhatara, wusinin pening jero ati.
37. Itulah
sebabnya teringat dalam hati orang, bahwa itu adalah bukti orang utama, dari
Sang Apsari Sunu, dalam menjalankan keperwiraan berperang, mencapai surga
wisnuloka dieluk – elukan oleh apsari – apsari hujan bunga oleh resi – resi diangkasa.
Etu
gumenyeping manah, duh tahwa mangka, sasaning sarira lewih, tekaping Apsari
sunu, lwih ngusir yaseng rana, nungkap lewih, Indra loka kang jinujur,
sinungsung apsara gana, puspa warsa resing langit.
38. Sekarang
ketahuilah pula, Lurah Bangkiyang Sidem yang turut mati dalam peperangan itu
pada muaranya guha, karena tulus setia bakti, tidak memungkiri kata – kata yang
diucapkan sampai mengorbankan jiwa, tetap perwira dalam peperangan, patut
dicontoh, oleh para Ksatria utama.
Mangke
piweuh ana mwah, Lurah bangkiang sidem nguni, sang tumut pejaheng rana, ring
mua giha uni, pantumus satieng a sih, norama mresa ring wuwus, sida maka
bejayang jiwa, sudira puruseng juti, yogia tiru dera sang Ksatria Purusa.
III.
PANGKUR
1.
Sangat
panjang disebutkan, seisi puri dalam menderita sedih sedih, jenazah sudah
diusung, dimandikan dan dikapankan di balai kecil, indah berhias bagus, lengkap
berupacarakan malam hari.
Ada wa yan katakena sajro puna ana hen lara pri hati, tanh laywan
sampun ginusung, mentas wus rinuruban, ring made ngrawit, genep secara nia
sampun tingkahing pekarungan, tan ketipmging dina latri.
2.
Selama
layun dalam istana, diceritakan hari upacara kini, empat annugrah berkumpul
bersama raja putra, terutama dihadapan Sri Aji itu, tak lain membicarakan, cara
mengabenkan sang putri.
Saswane maring kurungan, nda tita prapta tang titiwa gelis, sira
CaturLurah umum, kelawan Sang Nrepta Putra, minangkadi ta sira sanga hulun, tan
weneh kegino caran, tekaning tileman prapti.
3.
Adapun
sang catur anglurah, sangat bergirang idalam hati karena baktinya menjungjung,
tidak menghitung kekayaan, kini telah mengerahkan rakyatnya dalam mengerjakan segala
keperluan upacara pengabenanbersama-sama secara aktip.
Sira Sang Catur Anglurah, ati saya gerang sireng ati, wetning
twangira ahulun, tan pang raseng raja brana, ndah mangkeki, bala inarahan
sampun satingkahing atitiwa, prasana ajap angwiring.
4.
Tak
berapa lama antaranya, diceritakan setelah datang semua orang-orang pedhusunan
tani, berduyun-duyun dengan perbekalan, dan dengan semuanya berkerja, dam
mengahaturkan hasil pertaniannya masing seadanya, dengan demikian segera
selasai segala upacara pelebon (pengabenan) telah tersedia dengan sempurna.
Pira kurang wasa nita, ndah tucapap praptening wong dusun tani,
bumurung sakebekelenipun, girang anambut karya, ngatura saka lwir, ndah mangke
biata wus puput, secaraning stitiwa, sampun wus Cuma dan sami.
5.
Telah
mendekat hari pelebon itu, bukan main di kota Sukadana itu, suaa gamelan
bergemuruh, orang bergembira bersuka-sukaan, dalam melakukan upacara dengan tak
kurang makan minumnya karena keadaan yang melimpah-limpah.
Meh prapta kang dewasa, tan sipi rumia ning karya Sri Aji,
tetabahan gnia umung, agirang awijah-wijah, lan pepali, tan nguranin tangan
kengum sarah wirja tang drewina, apan biuhning pala bukti.
6.
Jenazah
telah diusung keluar, dinaikan keatas badeyang indah, bernama Padma-trawang ,
lalu segera berangkat menuju gunung, pada Pundak Bukit Mangu, jenazah
diturunkan pada “petulangan” berbentuk gajah mina kini.
Kang lywan wus sinusungan, maring jaba, mungwing bade ngrawit padma
trawang ngarangipun, ndah tamuli lumampah, nyujereng ukir, ring puncaking
giri Nangu, tinurunaken tan laywan,
pamalungan nina asti.
7.
Indah
dan bersih kelihatan pembakaran jenazah itu, tinggi dan bertingkat tujuh yang
baik, lengkap ulon dan upacaanya, dipuja oleh Dukuh Jati Tuhu, telah mengakhiri
yoganya, dan keloping kelapa gading lalu segera dibakari jenazah Tuan Putri.
Aresi-katoning pamasmian, anginggila aundandag-undag saptadi,
maulon pancima sampun, dukuh jati tuhu amuja, amralina, puput amrayogan sampun,
kloping nyuh gading salupak, tandwa saksana binasmi.
8.
Serasa
melayang-layang Pitara makin jauh menuju
timur laut dengan tenang, tak ayub segala yang melihat, tanda alamat baik bagi
yang diupacara pada angkasa, maka setelah terbakar abu tulang diupacara
penyucian lagi, lalu ditanam di puncak gunung.
Rasa mesal Hyang pitara, namu-namu, luo wetan asemu rimrim,
kascariang kwehing andulu, tekat supa nimita, ing awi ati, mangke wus
gineseng sampun, arunng wus pinrasting ta, pinendem puncaking giri.
9.
Setelah
sempurna dengan upacara “pelebon” tentu segera menggaib atmanya ke alam surga,
maka segala tamu-tamu permisi menuju rumahnya masing-masing, tersebutlah Sri
Aji, masih dalam keadaan rindu, teringat pada yang tengah hilang, masih lama
tak terlupkan, demikian keadaan terdahulu.
Biakta wus pari purna, tang titiwa, sidha siniksma ring rawit, ta
kawan sang midara mantuk, angungsi kuwunia soang, kawarna malih, semu manga
sangahulun, sang peja paraning manah, mangka kalingania nguni.
IV SEMARADANA
1.
Lihatlah saya ibu bapa, sangat tidak sayangmu kepada anak, apakah
kesalahanku? Senang ayah berdua dengan ibu meninggalkan, kalau memeng tak suka
beranak, dahulu siapa yang menyuruh ibu dikawini ayah.
Tinglana ibu Aji, lalu tan sihing atmaja aparan luputan ingon suka akaron
tininggal, subanan tan menak atmaja uni sipap mekon ibu, rumajama nira bapa.
2.
Lama saya mengalami duka cita, lihatlah hamba sejenak, payah hamba
menanti kedatangan ayah, ibu, berapa tahun sudah lamanya ini, juga beljum ayah,
ibu datang bagaimana kiranya senangnya hati ayah dan bunda.
Lana anandang prihati, tingal manira kemantian, ngel manira angayap,
praptaa nira pangeran pira kunang lawas ika, molar nora sira rawuh, ndirakwa
manaking manah.
3.
Lebih baik hamba mati, untuk apa hamba hidup menemui kesengsaraan, payah
mengharap-harap angin, hidupku sama dengan mati, siapa orang suka dengan hamba,
menerima orang seperti hamba begini.
Leheng angemasana wasianti, ginawe noran agesang, umanggih papa kelahron,
angengkak angajap tawang urip sama lawan pejah, siapa sudia tekeng hulun,
muponin kaya manira.
Makna
yang terkandung dalam babad Pulasari
·
Seorang
pemimpin yang menghawatirkan nasib rakyatnya kelak
·
Seorang
anak yang bernakti kepada orang tuanya
·
Orang
hidup itu tidak dapat lepas dari cobaan Tuhan
·
Hidup
itu bagaikan roda yang berputar, bahwa kehidupan kadang dibawah dan kadang
diatas
·
Perbuatan
yang telah dilakukan apabila salah tidak usah disesali, sebaiknya diambil
hikahnya dan kalau bisa diperbaiki
·
Seorang
pemimpin tidak hanya bersekap bijaksana tetapi juga senantiasa mendekatkan diri
kepada Tuhan
·
Segala
sesuatu yang terjadi telah di takdirkan oleh Tuhan, maka janganlah berpitus asa
·
Segala
sesuatu yang diinginkan sebaiknya diusahakan dengan sungguh-sungguh tapi dengan
tatacara yang baik agar hasilnya baik juga
·
Menjadi
seorang pemimpin sebaiknya meninggalkan sifat ang buruk, agar segala
perintahnya dilaksanakan oleh bawahanya dengan senang hati
·
Sebagai
raja hendaknya bersikap adil
·
Sebagai
raja hendaknya dermawan kepada rakyatnya, agar rakyat tersebut bisa hidup
makmur
·
Seorang
raja hendaknya bertatasusila baik dan menghilangkan nafsu jahat
·
Seorang
prajurit yang setia kepada rajanya
·
Seorang
pemimpin yang bersifat congkak dan angkara murka akan mendapat balasan/ kutukan
dari Tuhan
·
Tata
cara upacara ngaben:
1.
Dimandikan
2.
Dikafankan
3.
Jenazah
diusung keluar
4.
Jenazah
dibakar
5.
Lengkap
dengan ulon dan upacaranya
6.
Keloing
kelapa gading dibakar dengan jenazah
7.
Setelah
terbakar abu tulang diupacarakan penyucian lagi
8.
Lalu
ditanam di puncak gunung
9.
Setelah
upacara selesai maka arwah melayang menuju surga.
·
Seharusnya kita sebagai manusia harus bersyukur pada karunia yang sudah
diberi, bagi orang mempunyai harta benda yang lebih hendaklah tidak salah
gunakan hingga mencelakakan diri sendiri – Nilai Sosial.
·
Manusia hendaknya bersyukur atas
segala yang diberi Tuhannya, jika kita tidak maka dosa besar – Nilai Ketuhanan.
·
Memang penyesalan datang disaat akhir, namun kita sebagia manusia
seharusnya tidak menangisi perbuatan yang sudah kita lakukan di masa lampau.
·
Sebagai pemimpin suatu negara seharusnya memang menjaga kewibawaan dan
kebijaksanaan – Nilai Kepemimpinan.
·
Selain bijaksana, seorang penguasa, juga harus mempunyai tata karma yang
sopan – Nilai Kepemimpinan dan Moral.
·
Jika ingin memberikan kedamaian dan keselamatan bagi dirinya sendiri maka
kita harus berbuat baik – Nilai Moral.
·
Seseorang yang mempunyai pikiran yang suci dan bersih pasti akan menjadi
orang yang baik – Nilai Moral.
·
Seorang pemimpin yang mempunyai sifat kasih sayang, ketulusan hati akan
menghilangkan rasa kemarahan rakyatnya. Sebaliknya mereka akan setia kepada
pemimpinnya dan itulah yang membuat rakyat menjadi sejahtera – Nilai
Kepemimpinan.
·
Kita sebagai rakyat, harusnya cinta dan setia pada tanah air kita
sendiri. Karena jika tidak, maka akan hancur sebuah negara – Nilai
Nasionalisme.
·
Jika kita mempunyai pilihan yang sulit, pikirkan lah dengan baik dan
jernih. Jangan sampai egois dan berpikir yang tidak baik – Nilai Moral.
·
Sebagai manusia harusnya berhati – hati dalam berbicara, karena jika
tidak, sesuatu hal yang baik bisa dianggap buruk karena asal bicara – Nilai
Moral.
·
Seburuk apapun perkataan orang pada kita, harusnya kita sabar dan tidak
terpancing emosi – Nilai Moral.
·
Menahan emosi dan sabar adalah hal yang terbaik yang bisa dilakukan
ketika kita mendapatkan suatu hal yang buruk – Nilai Moral.
·
Kesabaran, kebenaran hati adalah hal – hal yang menjauhkan kita dari hal
– hal yang tercela – Nilai Moral.
·
Seorang parajurit seharusnya daya juang yang tinggi untuk membela
bangsanya – Nilai Nasionalime.
·
Kita harus rela mati untuk membela bangsa kita sendiri dalam perang –
Nilai Nasionalisme.
·
Seorang Pemimpin wajib berdiskusi tentang bagaimana cara mensejahterakkan
rakyat. – Nilai Kepemimpinan.
·
Sebuah peperangan tidak selalu berdampak baik untuk bangsanya, namun juga
merugikan, khusunya bagi masyarakat pedesaan yang tidk tahu apa – apa. Sebagai
pemimpin seharusnya bisa memilih keputusan yang bijaksana – Nilai Kepemimpinan.
·
Pemimpin harus cerdik dan punya strategi agar bisa melindungi rakyatnya
karena pasti ada jalan menyelesaikan masalah tanpa adanya perang, yaitu dengan
jalur damai – Nilai Kepempinan.
·
Sebuah kebaikan hendaknya tidak di dalam hati saja, tapi wujudkanlah
dengan perbuatan – Nilai Moral.
·
Pemimpin adalah orang yang bertanggung jawab atas semua yang berdampak
buruk pada rakyat, maka pemimpin harus bertindak dengan hati – hati – Nilai
kepemimpinan.
·
Ketika kita menghadapi orang yang membenci atau membuat marah kita, bukan
emosi dan gertakan yang diperlukan namun kebijaksanaan – Nilai Moral.
·
Berpikirlah matang – matang sebelum bertindak itulah yang harus dilalukan
oleh seorang pemimpin, agar nantinya tidak merugikan rakyat – Nilai
Kepemimpinan.
·
Seorang istri wajib setia pada suaminya, begitu pula sebaliknya – Nilai
Kekeluargaan.
·
Tidak keras kepala serta mau mengakui kesalahan dan meminta maaf adalah perilaku
yang baik – Nilai Moral.
·
Kita harus mau mendengarkan nasihat orangtua untuk kebaikan kita sendiri
– Nilai Moral.
·
Orang tua wajib menyayangi dan mendidik anak – anak mereka, karena jika nantinya
mereka tumbuh menjadi pribadi yang buruk, keras kepala maka mereka akan susah
nantinya – Nilai Kekeluargaan.
·
Nasionalisme seorang pejuang yang tidak takut mati untuk membela
bangsanya sendiri – Nilai Nasionalisme / Patriotisme.
·
Seorang pahlawan yang rela mati demi membela bangsanya akan mendapatkan
kemuliaan nantinya – Nilai Patriotisme.
·
Dosa / perbuatan yang buruk nantinya pasti akan dibalas di akhirat nanti.
Maka dari itu berhati – hatilah dalam bertindak – Nilai Moral.
·
Kita harus setia kepada pemimpin kita sampai kapan pun dn tidak akan
berkhianat – Nilai Nasionalisme (kesetiaan).
·
Ketika kita membuat kesalahan, janganlah terus – terusan menyesalinya,
tapi insyaflah dan minta ampun pada Tuhan Yang Maha Esa – Nilai Ketuhanan.
·
Seorang pahlawan yang rela mati demi bangsanya memang pantas mendapatkan
kemuliaan – Nilai Patriotisme/ Nasionalisme.
·
Sesorang yang tulus, setia, mengorbankan jiwa dan tetap perwira adalah
orang yang patut dicontoh oleh para Ksatria – Nilai Patriotisme.
Babad pulasari
di alih aksara dan alih bahasa oleh Ida Bagus Gde Budharta Ba
Babad pulasari
terdiri dari
1.
Pupuh
durma: 473
2.
Pupuh
sinom: 229
3.
Pupuh
pangkur: 90
4.
Semaradana:
20
Keseluruhannya
berjumlah 1132 pupuh
kapetik saka: makalah kelompok matkul Sejarah Sastra Jawa
Comments
Post a Comment